Ada “Biaya Siluman” dalam Program Prona di Desa Benteng Ciampea Bogor, yang Bongkar Warga

20210125 014808

PROYEK Operasi Nasional Agraria atau Prona yang dibuat di lingkungan Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri merupakan proses sertifikasi tanah secara massal yang dilakukan secara terpadu yang sasarannya seluruh lapisan masyarakat, namun lebih diutamakan masyarakat ekonomi lemah.

Seperti halnya di Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, program ini telah bergulir sejak 2017 lalu, dimana masyarakatnya yang masuk kategori kurang mampu berhak untuk mendapatkan sertifikat dari pemerintah secara gratis.

Kurun waktu empat tahun berjalan, namun ternyata program tersebut terindikasi masalah. Pasalnya saat ini banyak masyarakat mulai mengeluhkan banyaknya oknum mulai dari tingkat desa, RW sampai RT bermain dalam proyek tersebut.

Aroma pungli dalam pengurusan sertifikat gratis tersebut mulai tercium. Modusnya pun nyaris sama dengan daerah-daerah lain. Mulai dari 1,5 hingga 3 juta, baik memakai kwitansi maupun tidak, kini semua mulai terbongkar ke permukaan publik. Tak pelak, warga pun meminta kembali uang yang telah mereka keluarkan.

Terlebih program ini secara tegas telah diatur dalam Kepmendagri No. 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria, dimana disebutkan tujuan utama program ini adalah memproses pensertifikatan tanah secara massal sebagai perwujudan dari pada program Catur Tertib di bidang Pertanahan yang pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Kep Meneg Agraria 4/1995 juga menyebut bahwa pemberian hak-hak atas tanah negara kepada masyarakat, penegasan/pengakuan atas tanah-tanah hak adat dan tanah-tanah lainnya yang ditentukan sebagai lokasi Prona dalam rangka persertifikatkan tanah secara masal, dibebaskan dari kewajiban membayar uang pemasukan kepada Negara seperti yang telah ditentukan dalam Permendagri Nomor 1 tahun 1975, dan kepada penerima hak-haknya dikenakan kewajiban membayar biaya administrasi.

Seperti diketahui, di era Presiden Jokowi, masalah kepemilikan tanah oleh rakyat sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur. Jokowi sangat meyakini, jika seluruh rakyat Indonesia sudah memiliki sertifikat tanah yang sah dan sesuai aturan dan hukum yang berlaku, maka di masa depan tidak akan terjadi lagi masalah sengketa tanah karena status dokumen kepemilikan yang tidak jelas.

Untuk itu Jokowi menggerakkan kembali program pemerintah yang sudah dicanangkan sejak tahun 1981 yang dikenal saat ini dengan sebutan Prona.

Namun sayangnya, keinginan warga Benteng untuk tetap memiliki sertifikat tanah dari program yang dibayarkan negara ini sepertinya harus pupus. Warga gigit jari, lantaran harus menebus sertifikat tersebut dengan nominal yang bervariatif.

Salah seorang warga yang tak bersedia disebut namanya mengungkapkan kronologi dan modus para oknum sampai dirinya mengeluarkan “biaya siluman” untuk pengurusan sertifikat dalam program tersebut.

“Awalnya sih dari pemutihan dan itu Pak RW yang ngajuin, kalau saya nggak tau, ikutin aja. Kata dia mumpung ada yang urus,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan, sebenarnya dirinya sangat keberatan dengan jumlah uang yang harus dibayarkan untuk penebusan satu sertifikat. Namun ia terpaksa menyanggupi, walaupun harus berhutang.

“Bukan hanya kami saja, masih banyak warga di sini yang tidak sanggup akhirnya membiarkan tanpa menebus, karena faktor ekonomi dan sebagian mayoritas petani,” ungkapnya.

Pengakuan serupa diungkapkan warga lainnya yang mengurus sendiri untuk keluarga namun harus menyediakan uang 1 juta perorang. Parahnya dari 20 orang hanya 16 orang yang menerima. Sedangkan sisanya belum jadi.

Dari informasi yang didapat, tercatat lebih kurang seribu warga yang mengajukan sertifikat Prona. Rata-rata semua mayoritas petani. Sementara untuk pembagian sertifikat itu dijanjikan sekitar bulan Agustus 2017 lalu.

Namun janji tinggalah janji, faktanya banyak warga yang tidak menerima. Dengan alasan belum selesai, sehingga sebagian warga yang hingga saat ini belum mendapatkan merasa kecewa.

Parahnya lagi, saat dikonfirmasi terkait pengajuan sertifikat Prona tersebut semua oknum yang terkait pengurusan tersebut bungkam dan enggan memberikan informasi yang pasti. Mulai dari Desa sampai RT, terkesan lepas tangan dengan proses pembuatan sertifikat yang terlantar bertahun-tahun tersebut. Tim