Oleh : Lenyap Septriani, S.H.,M.H
Gemantara.com,Bangka Belitung – Baru baru ini (02/03/2023), Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst terkait gugatan Partai Prima telah menjadi putusan yang sangat sukar untuk dipahami secara nalar hukum. Dalam salah satu Amarnya Majelis Hakim mengatakan bahwa tahapan pemilihan umum tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Adagium hukum yang menyebutkan Res Judicata Pro Veritate Habetur (putusan hakim harus dianggap benar) tentu sangat sulit diimplementasikan dalam putusan ini. Sebab, hasil akhir persidangan ini telah merobek rasa keadilan masyarakat dan merusak tatanan hukum di Indonesia.
Adalah benar bahwa seorang hakim memiliki kemandirian dan keyakinannya dalam memutus suatu perkara, tetapi bukan berarti ia bisa akrobatik atau melakukan manuver tanpa memperdulikan ketentuan peraturan perundang-undangan, doktrin, dan teori hukum. setiap putusan memang harus dihormati dalam artian jika putusannya tidak mengandung cacat hukum yang fatal dan menyebabkannya menjadi tidak dapat dilaksanakan alias non-executable. Putusan PN Jakarta Pusat jelas mengandung cacat hukum yang mendasar sehingga tidak dapat dilaksanakan, hal tersebut akan penulis coba uraikan dalam beberapa aspek sebagai sebuah argumentasi hukum.
GAGAL MEMAHAMI KEWENANGAN ATAU YURISDIKSI HUKUM
Setiap pengadilan tentunya mempunyai wilayah kerja masing-masing, itulah yang disebut dengan yurisdiksi, alias kompetensi peradilan. Perkara pidana tidak bisa disidangkan dalam majelis hukum perdata. Tidak bisa perkara tata usaha negara disidangkan oleh peradilan umum. Jika dilihat dari permasalahan hukumnya bahwa perkara yang di persoalkan adalah dua produk hukum KPU RI, Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang menjadikan calon peserta Pemilu tersebut gagal melewati tahapan verifikasi administrasi. Dalam undang-undang Pemilu jelas diatur bahwa sengketa pemilu harus melalai koridor Bawslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Yang dimana sengketa dalam hal proses administrasi, dan hasil punya koridor berbeda. sengketa sebelum pencoblosan, jika terkait dengan proses administrasi harus selesai di Bawaslu. Sementara jika berkaitan dengan kepesertaan dapat di tempuh hingga PTUN.
Bahwa terlihat jelas secara terang benderang PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Sebab, yurisdiksi hukum yang tepat memproses tuntutan Partai PRIMA adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Argumentasi ini bukan tanpa dasar, jika dirunut, dalam persidangan Partai PRIMA mempersoalkan dua produk hukum KPU RI, Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang menjadikan calon peserta Pemilu tersebut gagal melewati tahapan verifikasi administrasi. Atas konteks itu, maka berdasarkan Pasal 466 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), konteks permasalahan hukum Partai PRIMA masuk pada kategori Sengketa Proses Pemilu. Oleh karenanya, merujuk pada Pasal 468 dan Pasal 470 UU Pemilu, yurisdiksi hukum bukan PN, melainkan Bawaslu dan PTUN.
Karena gagal memahami yuridiksi yang bukan kewenanganya, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhirnya terjebak untuk mengeluarkan amar putusan yang juga keliru, alias cacat hukum. Sejatinya gugatan yang dilayangkan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara. Karena terdapat perbedaa yang jelas pula anatara, putusan mengabulkan dalam sengketa perdata biasa hanyalah mengikat penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat pihak lain. Putusannya tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja atau “erga omnes”.